Islamic Hijri Calendar - Sticky Note

Arsip Web

Ahlan Wa Sahlan di Web Blog BEM STIBA Makassar, Salam Ukhuwah Selalu....(Admin http://www.bemstibamakassar.co.nr/)

Diriwayatkan dari Abi Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah telah bersabda: "Termasuk dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak penting baginya."(H.R Tirmidzi dan periwayat lainnya).

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya "Al-Arba'in" bahwa derajat hadits ini hasan. Syaikh Salim Al-Hilali (Murid Syaikh Al-Albani rahimahullah) dalam kitabnya Shahih Al-Adzkar wa dhi'fuhu bahwa derajatnya shahih lighorihi (shahih karena adanya riwayat yang lainnya). Jadi hadits ini bisa dijadikan dasar untuk beramal.

Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan "Hadits ini merupakan pondasi yang sangat agung diantara pondasi adab." Beliau mengatakan dalam "Jami'ul 'Ulum wal Hikam" 'Sesungguhnya barangsiapa yang baik Islamnya pasti ia meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak penting/bermanfaat baginya." Ukuran penting atau bergunanya itu tentu ditimbang dari syari'at, bukan menurut rasio atau akal, atau hawa nafsu.

Termasuk meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak penting ialah meninggalkan yang makruh, samar-samar, bahkan berlebih-lebihan dalam masalah mubah.

Imam Ibnu Rajab mengatakan pula "Kebanyakan pendapat tentang meninggalkan apa-apa yang tidak berguna ialah menjaga lisan dari apa-apa yang tidak berguna, seperti umpatan, dll"
Allah berfirman" Tidaklah seseorang mengucapkan sesuatu ucapan kecuali ada malaikat yang mengawasi dan mencatat"(Qaaf: 18).

Umar bin Abdul Aziz berkata "Barangsiapa yang membandingkan antara ucapan dan perbuatannya, maka ia tidak akan berbicara kecuali hanya dalam hal yang penting saja."

Imam An-Nawawi berkata "Ketahuilah, setiap mukallaf (orang yang dewasa dan terbebani hukum syari'at) diharuskan untuk menjaga lisannya kecuali untuk hal-hal yang mengandung maslahat/kebaikan. Apabila sama maslahatnya, jika ia berkata ataupun diam, sunnah untuk menahannya, karena kata-kata yang mubah dapat menjerumuskan seeorang dalam hal-hal yang haram atau makruh, dan ini sering terjadi. Padahal mencari keselamatan itu tak ada bandingannya."

Imam Ibnu Qoyyim berkata "Menjaga lisan ialah dimaksudkan agar seseorang jangan sampai mengatakan hal yang sia-sia. Apabila hendak berkata, maka hendaknya dipikirkan apakah ada manfaat bagi dien/ agamanya. Apakah akan terdapat manfaat dari apa yang diucapkannya itu? Jika bermanfaat, maka katakan lagi, adakah kata-kata yang lain yang lebih bermanfaat atau tidak?(Dari kitab Ad-Daa'u wad Dawaa').
Kata beliau juga "Adalah sangat mengherankan orang bisa menghindari dari hal-hal yang haram, berzina, mabuk-mabukan, mencuri, memandang hal yang diharamkan, dan lainnya, tetapi sulit menjaga gerakan lisannya. Sampai-sampai ada orang yang dipandang ahli ibadah, zuhud, tetapi ia berbicara dengan ucapan yang tanpa ia sangka telah mendatangkan murka Allah." Ancaman itu sebagaimana dalam hadits Nabi "Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kata-kata, ia tidak memikirkan (baik/buruk) didalamnya maka ia tergelincir disebabkan kata-katanya itu ke dalam neraka sejauh timur dan barat" (HR.Bukhari Muslim)

Seorang 'Alim negeri Saudi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Syarah Riyadhus Shalihin menasehatkan beberapa hal.
Seorang Muslim yang ingin baik Islamnya maka hendaklah ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Contohnya, jika engkau bingung, apakah mengerjakan sesuatu atau tidak jadi, maka lihatlah apakah ia mengandung manfaat dalam agamamu dan dunia, atau tidak penting. Jika penting, maka lakukanlah, jika tidak maka tinggalkanlah karena mencari keselamatan harus diutamakan.

Demikian pula jangan pula mencampuri urusan orang lain jika kamu tidak ada kepentingan terhadapnya. Janganlah seperti kebanyakan orang hari ini, dimana rasa ingin tahu terhadap masalah yang sedang dibicarakan oleh dua orang mendorongnya untuk mendatangi keduanya itu dan mencampurinya.

Termasuk contoh yang kurang baik lagi, jika engkau bertemu dengan seseorang engkau menanyakan "Dari mana?" atau "Mau ke mana?". Sepintas itu hanya pertanyaan 'kepedulian' saja padahal jika orang yang ditanya itu baru saja pulang/ sedang akan ke masjid, atau pengajian, dan ia tidak suka orang mengetahuinya karena takut riya' maka pertanyaan itu justru memojokkannya dan susah untuk dijawabnya padahal ia tidak mau berbohong. Jadi, jika engkau hendak berkata atau beramal, maka pikirkanlah apakah yang engkau lakukan itu bermanfaat bagi urusan agamamu (akhiratmu) atau duniamu. Jika tidak maka tinggalkanlah. Demikianlah manusia berakal, dia senantiasa memperhatikan amal kebaikannya sebagai bekal menghadapi kematian yang pasti datang, baik dari segi keikhlasannya, dan juga dari segi sesuai/ tidaknya dengan yang dicontohkan Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam. Sabda beliau "Barangsiapa yang beramal yang tidak berdasarkan perintah dari kami maka ia (amal itu) tertolak" (Muslim).

Alhamdulillahi robbil'alamin

Baca Lebih Lanjut......




1. Dari Ibnu `Umar radliallahu `anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

"Janganlah kamu shalat kecuali menghadap sutrah (batas tempat sholat) dan jangan biarkan seorang pun lewat di depanmu, jika ia enggan maka perangilah karena bersamanya ada qarin (teman)." (HR. Muslim dalam As-Shahih no. 260, Ibnu Khuzaimah dalam As-Shahih 800, Al- Hakim dalam Al-Mustadrak 1/251 dan Baihaqi dalam As-Sunan Al- Kubra 2/268)

2. Dari Abu Said Al-Khudri radliallahu `anhu ia berkata: "Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

"Jika shalat salah seorang diantara kalian, hendaklah shalat menghadap sutrah dan hendaklah mendekat padanya dan jangan biarkan seorangpun lewat antara dia dengan sutrah. Jika ada seseorang lewat (didepannya) maka perangilah karena dia adalah syaitan." (HR. Ibnu Abi yaibah dalam Al-Mushannaf 1/279, Abu Dawud dalam As-Sunan 297, Ibnu Majah dalam As-Sunan no. 954, Ibnu Hibban dalam As-Shahih 4/48, 49-Al-Ihsan, dan Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra 2/267, sanadnya hasan) Di dalam riwayat lain (yang artinya): "(Karena) sesungguhnya setan lewat antara dia dengan sutrah."

Mengomentari hadits Abu Said di atas As-Syaukani berkata: "Padanya (menunjukkan) bahwa memasang sutrah itu adalah wajib." (Nailul Authar 3/2). Beliau juga berkata: "Dan kebanyakan hadits- hadits (dalam masalah ini) mengandung perintah dengannya dan dhahir perintah (menunjukkan) wajib. Jika dijumpai sesuatu yang memalingkan perintah-perintah ini dari wajib ke mandub maka itulah hukumnya. Dan tidak tepat dijadikan pemaling (pengubah hukum) sabda shallallahu `alaihi wa sallam (yang artinya): "Sesungguhnya tidak memudharatkan apapun yang lewat di depannya karena menghindarnya orang shalat dari perkara yang memudharatkan shalatnya dan menghindari hilangnya sebagian pahalanya adalah wajib atasnya." (As-Sailul Jarar 1/176)

Di antara perkara yang menguatkan wajibnya: Sesungguhnya sutrah merupakan sebab syari yang menyebabkan tidak sahnya shalat karena lewatnya wanita baligh, keledai dan anjing hitam sebagaimana telah sah yang demikian itu dalam hadits yang menyatakan larangan orang lewat di depan orang shalat, dan hukum-hukum lainnya yang berkaitan dengan sutrah. (Tamamul Minnah hal. 300)

5. Qurrah bin Iyas berkata: "Umar melihatku sedangkan aku (ketika itu) shalat di antara dua tiang. Maka dia memegang tengkukku dan mendekatkan aku ke sutrah seraya berkata: Shalatlah menghadap kepadanya." (HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya 1/577 [lihat pula Al-Fath] secara muallaq 3 dengan lafadz jazm (pasti datang dari Rasulullah, pent) dan disambungkan [sanadnya] oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 2/370)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Umar memaksudkan perbuatannya itu agar shalat (Qurrah bin Iyas) menghadap sutrah." (Fathul Bari 1/577)

6. Dari Nafi,ia berkata :"Bahwa Ibnu Umar jika tidak mendapati tempat yang menghadap tiang dari tiang-tiang Masjid, lalu ia berkata padaku :"Palingkan kepadaku punggungmu (untuk dijadikan sutroh,pent).(Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/279 dengan sanad shahih).

7. (Dalam suatu riwayat) bahwa Salamah bin Al-Akhwa meletakkan batu di tanah.Jika dia mau mengejakan Sholat ,dia menghadap kepadanya.(Ibnu Syaibah di dalam Al-Mushannaf 1/278)

8. Dari Ibnu Abbas r.a. "Aku memasang tongkat di depan Rosulullah SAW ketika di Arafah.Beliau sholat menghadapnya dan keledai lewat dibelakang tongkat."(Ahmad dalam Al-Musnad 1/243,Ibnu Khuzaimah dalah As-Shahih 840,Thabari dalam Al-Mujamul Kabir 11/243 dan sanad dari Imam Ahmad:hasan)

TENTANG JARAK KITA DENGAN SUTROH

9. Diriwayatkan bahwa :"Rasulullah SAW berdiri di dekat tabir.Jarak antara beliau dengan tabir itu ada 3 hasta (HR.Bukhari dan Ahmad)

10. Diantara tempat sujud beliau dengan dinding ada tempat berlalu kambing (H.R Bukhari dan Muslim)

11. Beliau bersabda :"Apabila salah seorang di antara kamu sholat menghadap tabir, maka hendaklah ia mendekatkan dirinya kepada tabir itu, sehingga setan tidak memutuskan dia dari sholatnya ". (Abu Daud Al-Bazzar (p.54 Az-Zawaid),Al-Hakim dan dishahihkan olehnya,dan disepakati oleh Adz-Dzahabi dan An-Nawawi)

BENDA-BENDA YANG BISA DIJADIKAN SUTROH

12. Dan kadangkala beliau menjadikan kendaraannya sebagai tabir,lalu sholat dengan menghadap kendaraannya itu. (H.R Bukhari dan Ahmad)

13. Hal ini berbeda dengan sholat di tempat berbaring unta .Karena beliau telah melarangnya (Muslim dan Ibnu Khuzaimah (92/2) dan Ahmad

14. Kadangkala :"Beliau membawa semacam pelana ,lalu meluruskannya ,kemudian beliau sholat dengan menghadap kepada ujung pelana itu (H.R Bukhari dan Ahmad)

15. Rasulullah SAW bersabda : "Apabila salah seorang diantara kamu meletakkan semacam ujung pelana di hadapannya,maka hendaklah ia shalat dengan tidak menghiraukan orang yang berlalu di belakangnya(ujung pelana itu)" (H.R Mulim dan Abu Daud)

16. Diriwayatkan bahwa :"Sesekali beliau shalat dengan menghadap ke sebuah pohon.(H.R NasaI dan Ahmad dengan sanad yang shahih).

17. "Kadangkala beliau shalat dengan menghadap ke tempat tidur,sedangkan Aisyah r.a berbaring di atasnya -dibawah beludrunya- (Al Bukhari,Muslim,dan Abu Yala(3/1107 -Mushawwaratu l-Maktab)

18. Rasulullah SAW tidak pernah membiarkan sesuatu berlalu diantara dirinya dengan tabir.Dan pernah : "Beliau shalat,tiba-tiba datanglah seekor kambing berlari di hadapannya,lalu beliau berlomba dengannya hingga beliau menempelkan perutnya ke tabir -dan berlalulah kambing itu di belakang beliau-" (Ibnu Khuzaimah di dalam ash-Shahih (1/95/1),Ath-Thabrani(3/104/3),Al-Hakim dan dishahihkan olehnya,dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.

PERINGATAN KERAS BAGI YANG MELANGGAR SUTROH ORANG YANG SHOLAT

19. :"Sekiranya orang yang berlalu di hadapan orang yang shalat itu mengetahui apa yang akan menimpanya,niscaya untuk berhenti selama 40 tahun,adalah lebih baik baginya daripada untuk berlalu dihadapannya ".(H.R Al - Bukhari dan Muslim,riwayat lainnya adalah riwayat Ibnu Khuzaimah(1/94/1)).

20. HAL-HAL YANG MEMUTUSKAN SHALAT

Rasulullah SAW bersabda: "Shalat seorang laki-laki,apabila tidak ada semacam ujung pelana dihadapannya,maka akan diputus oleh :wanita -yang haid (atau balighah), keledai dan anjing hitam ".

Abu Dzar berkata bahwasanya ia berkata,"Wahai Rasulullah,apa bedanya antara anjing hitam dengan anjing merah ?" beliau bersabda,"Anjing hitam adalah setan ". (H.R Muslim,Abu Daud dan Ibnu Khuzaimah (1/95/2)

Artikel ini diketik ulang dari berbagai sumber seperti :

1. Kitab Al-Qaulul Mubin fi Akhtail Mushallin.Diterjemahkan oleh Suyuthi Abdullah

2. Kitab Sifat Sholat Nabi , oleh Syeikh Nashiruddin Al-Albani 


Wallahu A'lam

Baca Lebih Lanjut......

Racun atau virus ternyata tak hanya menyerang tubuh kita saja. Hati kita dalam artian maknawi pun ternyata bisa juga kesusupan makhluk yang berbahaya ini. Bedanya, kalau racun dan virus yang menyerang tubuh segera kita rasakan pengaruhnya dan tentu segera kita waspada, misalnya dengan membuang sumber racun yang ada. Namun kalau hati kita yang kena racun, kita sering tak sadar kalau telah keracunan. Bahkan mungkin sebagian besar kita tak tahu apa itu racun atau virusnya hati. Dokter di rumah sakit pun tak bisa mendiagnose atau jangan-jangan dokternya pun kena racun atau virus itu pula…

Jelasnya, racun hati berbeda dengan racun yang menyerang tubuh. Ia lebih gawat karena mengancam kelangsungan hidup pada dua kehidupan , yaitu kehidupan dunia dan akhirat. Beberapa racun hati yang mesti diwaspadai adalah:

* Terlampau Banyak Bicara Lidah kita sebenarnya bentuknya hanya kecil, namun ternyata ia punya daya rusak yang sangat hebat bila tidak dipelihara dengan syariat. Pertengkaran, permusuhan , kebencian, perceraian, bahkan peperangan bisa berlangsung akibat tidak terkendalinya kata-kata yang dimainkan oleh lidah. Di zaman kita, realita membuktikan bagaimana kerusakan yang ditimbulkan dari aktivitas "terlampau banyak bicara". Fitnah, adu domba, menggunjing (Ghibah) bergaung di berbagai penjuru. Tak heran apabila aktivitas ini pula yang terbanyak memasukkan orang kedalam api neraka seperti sabda nabi shallallahu alaihi wa sallam :

"2 lubang yang terbanyak memasukkan manusia ke dalam neraka, yaitu mulut dan kemaluan" (HR shahihain)

Kadang orang berucap tanpa ia pikirkan terlebih dahulu dan ia anggap hal yang sangat sepele namun berakibat ia terpuruk di api neraka. Dan kini majelis-majelis seperti ini laku dan banyak diminati oleh masyarakat. Beragam dosa lahir dari aktivitas ini, maka ia pula yang merupakan racun berbahaya yang mesti diwaspadai. Bagi seorang muslim hanya ada 2 pilihan saja yaitu berkata-kata yang baik atau diam.
* Memandang hal-hal yang diharamkan Pandangan yang haram akan membekaskan bayangan di dalam hati kita terhadap apa-apa yang kita pandang. Syaitan pun segera bermain di sana, dengan membikin hiasan-hiasan indah pada bayangan tersebut. Akibatnya akan lahir kejelekan-kejelekan yang banyak di hati kita. Sebenarnya ada muatan apa pada pandangan yang diharamkan itu…?
1. Pandangan adalah panah yang dillepaskan oleh iblis. Ketika seseorang tak menjaga pandangannya niscaya panah-panah iblis segera menancap di dalam hatinya, dan membuat luka yang menganga.
2. Syaitan masuk bersama pandangan yang diharamkan.
3. Menyibukkan hati untuk memikirkan apa yang dipandang. Hati pun lalai untuk memikirkan kesehatan dan kebaikan hati. Akhirnya, kacau balaulah segala urusannya, karena mengikuti hawa nafsunya.
4. Mengumbar pandangan merupakan kemaksiatan kepada Allah. Karena Allah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan muslimah untuk menjaga pandangannya :

"katakan kepada laki-laki yang beriman agar menundukkan pandangannya dan menjaga kehormatan mereka, yang demikian itu lebih suci dan bersih bagi mereka" (QS An Nur : 30)
5. Mengumbar pandangan menyebabkan kegelapan hati. Hal ini sebagaimana ditunjukkan Allah setelah memerintahkan untuk menjaga panadangan dengan firmanNya :

"Allah adalah cahaya langit dan bumi"
6. Mengumbar pandangan membutakan hati dari membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Dan barangsiapa yang menundukkan pandangan karena Allah maka ia akan memperoleh firasat yang benar.
* Kebanyakan Makan Sederhana dalam hal makan berkorelasi dengan kelembutan hati, kekuatan pemahaman, kelembutan jiwa kelemahan hawa nafsu dan amarah. Adapun berbanyak makan akan menyebabkan hal yang berlawanan dengan hal di atas.

"Tidaklah bani Adam memenuhi suatu wadah yang lebih jelek daripada perutnya. Cukup baginya menegakkan tulang punggungnya, bila tidak maka hendaknya ia mengisi sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk nafasnya" (HR. Ahmad)

Berlebihan dalam hal makan mengundang sedemikian banyak kejelekan, karena akan menggerakkan badan untuk berbuat maksiat, memperberat ketaatan dan ibadah. Kita dapati dalam realita, betapa banyak maksiat terjadi karena kebanyakan makan. Diakhir poin ini, seorang ulama salaf mengisahkan tentang seseorang yang menasehati pemuda ahli ibadah di kalangan bani israil Janganlah kalian banyak makan, minum dan tidur yang mengakibatkan kalian banyak merugi.
* Terlalu banyak bergaul Pergaulan yang tidak didasari dengan syariat, akan menimbulkan kerusakan yang besar. Kasus yang banyak terjadi, seseorang yang semula shalih, berubah total menjadi penjahat yang luar biasa rusak karena pengaruh pergaulan yang tidak islami. Maka bagi setiap muslim hendaknya memperhatikan siapa yang akan dia jadikan kawan dekatnya yang selalu ia pergauli.


Wallahu A'lam

Baca Lebih Lanjut......

Diriwayatkan dari Abi Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah telah bersabda: "Termasuk dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak penting baginya."(H.R Tirmidzi dan periwayat lainnya).

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya "Al-Arba'in" bahwa derajat hadits ini hasan. Syaikh Salim Al-Hilali (Murid Syaikh Al-Albani rahimahullah) dalam kitabnya Shahih Al-Adzkar wa dhi'fuhu bahwa derajatnya shahih lighorihi (shahih karena adanya riwayat yang lainnya). Jadi hadits ini bisa dijadikan dasar untuk beramal.

Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan "Hadits ini merupakan pondasi yang sangat agung diantara pondasi adab." Beliau mengatakan dalam "Jami'ul 'Ulum wal Hikam" 'Sesungguhnya barangsiapa yang baik Islamnya pasti ia meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak penting/bermanfaat baginya." Ukuran penting atau bergunanya itu tentu ditimbang dari syari'at, bukan menurut rasio atau akal, atau hawa nafsu.

Termasuk meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak penting ialah meninggalkan yang makruh, samar-samar, bahkan berlebih-lebihan dalam masalah mubah.

Imam Ibnu Rajab mengatakan pula "Kebanyakan pendapat tentang meninggalkan apa-apa yang tidak berguna ialah menjaga lisan dari apa-apa yang tidak berguna, seperti umpatan, dll"
Allah berfirman" Tidaklah seseorang mengucapkan sesuatu ucapan kecuali ada malaikat yang mengawasi dan mencatat"(Qaaf: 18).

Umar bin Abdul Aziz berkata "Barangsiapa yang membandingkan antara ucapan dan perbuatannya, maka ia tidak akan berbicara kecuali hanya dalam hal yang penting saja."

Imam An-Nawawi berkata "Ketahuilah, setiap mukallaf (orang yang dewasa dan terbebani hukum syari'at) diharuskan untuk menjaga lisannya kecuali untuk hal-hal yang mengandung maslahat/kebaikan. Apabila sama maslahatnya, jika ia berkata ataupun diam, sunnah untuk menahannya, karena kata-kata yang mubah dapat menjerumuskan seeorang dalam hal-hal yang haram atau makruh, dan ini sering terjadi. Padahal mencari keselamatan itu tak ada bandingannya."

Imam Ibnu Qoyyim berkata "Menjaga lisan ialah dimaksudkan agar seseorang jangan sampai mengatakan hal yang sia-sia. Apabila hendak berkata, maka hendaknya dipikirkan apakah ada manfaat bagi dien/ agamanya. Apakah akan terdapat manfaat dari apa yang diucapkannya itu? Jika bermanfaat, maka katakan lagi, adakah kata-kata yang lain yang lebih bermanfaat atau tidak?(Dari kitab Ad-Daa'u wad Dawaa').
Kata beliau juga "Adalah sangat mengherankan orang bisa menghindari dari hal-hal yang haram, berzina, mabuk-mabukan, mencuri, memandang hal yang diharamkan, dan lainnya, tetapi sulit menjaga gerakan lisannya. Sampai-sampai ada orang yang dipandang ahli ibadah, zuhud, tetapi ia berbicara dengan ucapan yang tanpa ia sangka telah mendatangkan murka Allah." Ancaman itu sebagaimana dalam hadits Nabi "Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kata-kata, ia tidak memikirkan (baik/buruk) didalamnya maka ia tergelincir disebabkan kata-katanya itu ke dalam neraka sejauh timur dan barat" (HR.Bukhari Muslim)

Seorang 'Alim negeri Saudi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Syarah Riyadhus Shalihin menasehatkan beberapa hal.
Seorang Muslim yang ingin baik Islamnya maka hendaklah ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Contohnya, jika engkau bingung, apakah mengerjakan sesuatu atau tidak jadi, maka lihatlah apakah ia mengandung manfaat dalam agamamu dan dunia, atau tidak penting. Jika penting, maka lakukanlah, jika tidak maka tinggalkanlah karena mencari keselamatan harus diutamakan.

Demikian pula jangan pula mencampuri urusan orang lain jika kamu tidak ada kepentingan terhadapnya. Janganlah seperti kebanyakan orang hari ini, dimana rasa ingin tahu terhadap masalah yang sedang dibicarakan oleh dua orang mendorongnya untuk mendatangi keduanya itu dan mencampurinya.

Termasuk contoh yang kurang baik lagi, jika engkau bertemu dengan seseorang engkau menanyakan "Dari mana?" atau "Mau ke mana?". Sepintas itu hanya pertanyaan 'kepedulian' saja padahal jika orang yang ditanya itu baru saja pulang/ sedang akan ke masjid, atau pengajian, dan ia tidak suka orang mengetahuinya karena takut riya' maka pertanyaan itu justru memojokkannya dan susah untuk dijawabnya padahal ia tidak mau berbohong. Jadi, jika engkau hendak berkata atau beramal, maka pikirkanlah apakah yang engkau lakukan itu bermanfaat bagi urusan agamamu (akhiratmu) atau duniamu. Jika tidak maka tinggalkanlah. Demikianlah manusia berakal, dia senantiasa memperhatikan amal kebaikannya sebagai bekal menghadapi kematian yang pasti datang, baik dari segi keikhlasannya, dan juga dari segi sesuai/ tidaknya dengan yang dicontohkan Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam. Sabda beliau "Barangsiapa yang beramal yang tidak berdasarkan perintah dari kami maka ia (amal itu) tertolak" (Muslim).

Wallahu A'lam

Baca Lebih Lanjut......

Kita memuja dan memuji Allah, Dzat Pemberi berbagai ni’mat terutama ni’mat islam, iman dan sunnah. Tak lupa kita bershalawat dan salam atas kekasih Allah, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para shahabat serta orang-orang yang senantiasa setia menempuh jalan petunjuk beliau hingga hari kemudian.

Tak asing bagi kita Syahadat laa ilaha illah ini. Karena kita senantiasa membacanya dalam sholat, tepatnya ketika tasyahud. Ia merupakan salah satu dari rangkaian dua kalimat syahadat yaitu syahaadatu an laa ilaha illallah dan syahaadatu anna muhammadar rasulullah yang dengan mengikrarkannya seorang yang kafir menjadi muslim. Syahadat ini disebut Syahadat Tauhid, karena mengandung pentauhidan Allah Jalla wa ‘Ala dalam ibadah.

Demikian pentingnya syahadat ini, sehingga ia menjadi bagian terpenting dari rukun islam yang pertama. Hal ini berdasarkan hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda yang artinya: ”Islam dibangun atas lima perkara; (1) Syahadat laa ilaha illallah dan Muhammadur rasulullah, (2) Mendirikan sholat, (3) Menunaikan Zakat, (4) Berhaji ke Baitullah, dan (5) Puasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh sebab itu, sudah selayaknya bagi seorang muslim untuk memahami kandungan makna, rukun, syarat dan konsekuensi (tuntutan) syahadat ini.

Makna Syahadat Laa ilaha illallah

Maknanya adalah meyakini dan mengikrarkan bahwa tiada sesuatupun yang berhak diibadahi kecuali Allah Ta’ala dengan tetap teguh di dalamnya dan melaksanakan tuntutannya.

Sedangkan makna Laa ilaha illallah adalah Laa ma’buda bi haqqin illallah yaitu Tiada sesembahan yang haq (berhak disembah) melainkan Allah. Inilah makna Laa ilaha illallah yang benar.

Berikut ini akan disebutkan makna-makna yang keliru ketika menafsirkan Laa ilaha illallah.

1- Laa ilaha illallah ditafsirkan dengan Laa ma’buda illallah, maknanya Tiada sesembahan selain Allah. Ini makna yang berkonsekuensi batil, karena mengandung makna bahwa setiap sesembahan, baik yang haq maupun yang batil adalah Allah.

2- Laa ilaha illallah ditafsirkan dengan Laa kholiqo illallah, yang bermakna Tiada pencipta selain Allah. Ini makna yang kurang, karena hanya mengandung sebagian dari kandungan makna Laa ilaha illallah yaitu tauhid rububiyah sementara kandungan makna kalimat Laa ilaha illallah ini adalah tauhid ibadah yang mencakup tauhid rububiyah. .

Andaikan benar makna Laa ilaha illallah ditafsirkan dengan Laa kholiqo illallah (Tiada pencipta selain Allah), maka tentulah Iblis laknatullah ‘alaihi dan orang-orang kafir di masa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam termasuk muslim, karena mereka mengakui bahwa Allah Sang Pencipta, Penguasa, Pemilik dan Pemelihara alam jagad raya. Allah ta’ala mengabadikan perkataan Iblis dalam Al-Quran yang artinya: “(Iblis) berkata,”Aku lebih baik daripada dia(Adam). Engkau ciptakan aku dari api sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf:12). Dan Allah Ta’ala menyatakan keyakinan orang kafir di masa Nabi kita dengan firman-Nya yang artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang kafir), milik siapakah bumi dan apa yang ada di dalamnya, jika kamu mengetahui?(84) Mereka akan menjawab:”Milik Allah.” Katakanlah,”Maka apakah kamu tidak ingat?”(85). Katakanlah :”Siapakah Tuhan (Pencipta dan Pemelihara) langit yang tujuh dan Tuhan arasy yang agung?” (86) Pasti mereka menjawab:”Allah”. Katakanlah (kepada mereka): mengapa kamu tidak bertaqwa?” (QS.Al-Mu’minun:84-87).

Demikian pula, andaikata tafsir tersebut benar, tentulah orang-orang kafir Quraisy dan yang semisal mereka akan menerima dakwah Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam . Namun nyatanya tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam menyeru mereka “Ucapkanlah Laa ilaha illallah, niscaya kalian akan beruntung (di dunia dan akhirat)”(HR.Ahmad dan lainnya), mereka pun lantas membantah dengan ucapan mereka yang diabadikan Allah Ta’ala dalam firman-Nya: “Apakah dia menjadikan sesembahan-sesembahan itu hanya satu sesembahan (Allah) saja?! Sungguh ini sesuatu yang aneh.” (QS. Shad:5).

3- Laa ilaha illallah ditafsirkan dengan Laa hakima illallah yaitu Tiada hakim (Pembuat hukum) kecuali Allah. Makna ini pun kurang tepat dan tidak sempurna, karena masih saja mengandung sebagian dari kandungan makna Laa ilaha illallah yaitu tauhid rububiyah. Jelasnya, jika seseorang mentauhidkan Allah dalam hukum, namun bersamaan dengan itu dia beribadah kepada selain Allah, maka tetap saja dia belum merealisasikan tuntutan kalimat tauhid ini.

Makna yang benar dari tafsir Laa ilaha illallah adalah Laa ma’buda bi haqqin illallah yaitu Tiada sesembahan yang haq (berhak disembah) melainkan Allah. Hal ini berdasarkan Al-Quran surah Shad ayat 5 dan hadits riwayat Ahmad di atas, di mana orang-orang kafir di masa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam mengingkari dakwah beliau untuk mentauhidkan Allah (menjadikan Allah satu-satunya Dzat yang disembah) dengan ucapan mereka; “Apakah dia menjadikan sesembahan-sesembahan itu hanya satu sesembahan (Allah) saja?! Sungguh ini sesuatu yang aneh.”

Rukun Syahadat Laa ilaha illallah

Laa ilaha illallah memiliki 2 rukun yaitu An-Nafyu (penafian/peniadaan) dan Al-Itsbat (penetapan). Kedua rukun ini diambil dari 2 penggalan kalimat tauhid Laa ilaha dan illallah. Rinciannya sebagai berikut:

-Laa ilaha = An-Nafyu, yaitu meniadakan dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan serta mengingkari segala sesuatu yang disembah selain Allah Ta’ala.

-illallah = Al-Itsbat, yaitu menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah dan diibadahi melainkan Allah serta beramal dengan landasan ini.

Banyak ayat-ayat Al-Quran yang mencerminkan 2 rukun ini. Diantaranya adalah firman Allah Ta’ala yang artinya: “Maka barangsiapa yang mengingkari Thoghut (sesembahan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat (kalimat Laa ilaha illallah).” (QS.Al-Baqarah:256).

“Mengingkari Thoghut (sesembahan selain Allah”) adalah cerminan dari rukun An-Nafyu (Laa ilaha), sementara “Beriman kepada Allah” adalah cerminan dari rukun Al-Itsbat (illallah).

Syarat Syahadat Laa ilaha illallah

Syarat-syarat ini harus dipenuhi oleh orang yang melafalkan kalimat tauhid ini agar berfaedah baginya, yaitu sebagai berikut:

1- Berilmu dan memahami kandungan makna dan rukun syahadat ini sehingga hilang kebodohan terhadap kandungan makna dan rukun kalimat ini. Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda yang artinya:“Barangsiapa yang mati dalam keadaan ia mengetahui (kandungan makna) ‘laa ilaha illallah’ (bahwa tiada yang berhak disembah kecuali Allah), pasti masuk surga (HR. Muslim).

2- Meyakini segala yang ditunjukkan oleh kalimat ini tanpa ada keraguan sedikitpun. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:”Sesungguhnya orang mukmin itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu”. (QS. Al-Hujurat:15).

3- Menerima konsekuensi (tuntutan) kalimat ini berupa beribadah hanya kepada Allah semata dan meninggalkan beribadah kepada selain-Nya tanpa adanya penolakan yang didasari keengganan, pembangkangan,dan kesombongan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:”Sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) apabila diucapkan kepada mereka “laa ilaha illallah (Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah) maka merekapun menyombongkan diri(35). Dan mereka berkata,“Apakah kita akan meninggalkan sesembahan-sesembahan kita karena penyair yang gila”.(QS. Ash-Shaffat:35-36).

4- Tunduk dan berserah diri terhadap segala tuntutan kalimat ini tanpa mengabaikannya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:”Dan barangsiapa yang berserah diri kepada Allah dalam keadaan berbuat kebajikan, maka sungguh dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat (kalimat Laa ilaha illallah).” (QS.Luqman:22)

5- Jujur dalam mengucapkan kalimat ini dengan disertai hati yang membenarkannya. Jika seseorang mengucapkan kalimat ini namun hatinya mengingkari dan mendustai nya, maka dia orang munafik tulen. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:”Dan diantara manusia ada yang mengucapkan,”Kami beriman kepada Allah dan hari akhir”, padahal mereka tidak beriman(8). Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beiman. Tidaklah mereka menipu kecuali diri mereka sendiri sementara mereka tidak meyadari(9). Dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah menambah penyakit mereka. Dan mereka mendapat azab yang pedih karena kedustaan yang mereka lakukan. (QS. Al-Baqarah:8-10).

6- Ikhlas dalam mengucapkannya dan memurnikan amal dari segala kotoran syirik, bukan karena riya, atau untuk ketenaran, maupun tujuan-tujuan duniawi. Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda yang artinya:“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan”laa ilaha illallah” dengan tujuan mengharap wajah Allah.”(HR. Bukhari dan Muslim)

7- Mencintai kalimat ini dan segala tuntutannya serta mencintai orang yang melaksanakan tuntutannya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:”Dan diantara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan yang mereka mencintainya seperti mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.”(QS. Al-Baqarah:165). Orang –orang yang benar dalam imannya mencintai Allah dengan cinta yang tulus dan murni. Adapun para pelaku kesyirikan memiliki cinta ganda. Mereka mencintai Allah sekaligus mencintai tandingan-Nya.

Konsekuensi Syahadat Laa ilaha illallah

Konsekuensi (tuntutan) syahadat ini adalah meninggalkan peribadatan dan penyembahan kepada selain Allah Ta’ala.

Dewasa ini,banyak orang yang megucapkan kalimat ini namun menyalahi tuntutannya. Mereka menujukan ibadah (beribadah) atau memberikan persembahan kepada makhluk, seperti menyembelih dan bernadzar untuk kuburan dan penghuninya, meletakkan sesajian sebagai tumbal di tempat-tempat keramat dan angker, di sekitar pepohonan, dan bebatuan, serta bentuk-bentuk persembahan lainnya. Mereka menyakini tauhid sebagai hal yang baru dan mereka juga mencela orang yang memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata. Mereka juga mengingkari serta memusuhi orang-orang yang mendakwahi mereka, padahal ajakan dan dakwah yang dilakukan orang-orang tersebut adalah sebagai wujud kecintaan, perhatian dan kepedulian serta keprihatinan mereka terhadap saudara seagama mereka. Mereka tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa saudaranya disebabkan ketidaktahuan saudaranya tersebut terhadap sesuatu yang berbahaya bagi mereka. Untuk itu,-dengan didasari kecintaan- mereka bangkit mengingatkan saudara-saudara seagama mereka dari bahaya-bahaya yang bisa menimpa. Sikap mereka ini merupakan bentuk implementasi dari sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wa sallam yang maknanya: “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan akhirnya, semoga Allah ta’ala menjadikan kita umat yang bersatu dan bersaudara di atas agama tauhid ini.

Wa shollallohu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa ashhaabihi ajma’iin.

Baca Lebih Lanjut......

Telah masyhur di kalangan kita bahwa sebagian besar manusia dalam menjalankan agamanya hanya mengikuti apa-apa yang di ajarkan oleh Kyai-kyainya, atau Ustadznya tanpa mengikuti dalil-dalil yang jelas dari agama ini. Mengikuti di sini yang dimaksudkan adalah mengikuti tanpa dasar ilmu. Mereka hanya manut saja apa kata Sang Kyai atau Sang Ustadz, seolah apa yang mereka katakan pasti benar. Di sini kita melihat kebenaran hanya diukur oleh ucapan-ucapan kyai/ustadz tersebut tanpa melakukan pengecekan terhadap dasar ucapan mereka. Mereka tidak mengecek apakah sumbernya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, atau hanya bersumber dari hadits-hadits yang lemah, atau lebih fatal lagi bila bersumber dari hadits yang palsu. Inilah sesungguhnya Hakekat dari Taklid.

Ingatlah wahai saudaraku kaum muslimin ….. bahwasannya kebenaran atau al haq itu bukan berdasarkan banyaknya pengikut atau status sosial orang yang mengucapkan, karena kebenaran akan tetap merupakan kebenaran meskipun hanya sedikit yang mengikutinya. Dan yang namanya kebatilan merupakan kebatilan sekalipun seluruh manusia mengikutinya. Dan kebiasaan mengekor tanpa ilmu ini jelas-jelas merupakan suatu hal yang sangat tercela. Bahkan Alloh mengharamkan untuk mengikuti sesuatu yang kita tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran " Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya ." (QS. Al-Israa : 36). Dan juga perkataan Imam Bukhori " Bahwa ilmu itu sebelum ucapan dan perbuatan ." Dampak yang nyata terhadap hal ini ialah semakin jauhnya para muqolid (orang-orang yang taklid) ini dari ajaran Islam yang murni, dimana amalan-amalan mereka banyak yang bersumber dari hadits yang dhoif (lemah) atau bahkan hadits palsu dan bahkan mungkin mereka beramal tanpa ada dalil, hanya mengikuti ucapan Kyai atau Ustadznya. Jika dikatakan kepada mereka bahwa amalan mereka itu menyelisihi dalil yang shohih dari Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengatakan "kami hanyalah mengikuti apa-apa yang ada pada bapak-bapak kami atau kyai / ustadz kami."

Contoh paling nyata sekarang ini, kebanyakan mereka mengaku mengikuti Madzab Syafii, Hambali, Hanafi, dan Maliki dari para imam-imam madzab. Padahal kalau kita tengok ajaran/perbuatan/amalan mereka sangat jauh dari perbuatan imam-imam madzab tersebut. Mereka begitu fanatik kepada madzab yang mereka ikuti, bahkan bila ada seseorang yang berkata yang perkataannya itu bertentangan dengan madzab yang mereka anut, walaupun ucapannya itu haq adanya, niscaya mereka akan menentangnya habis-habisan, dan yang demikian ini terjadi. Wahai saudaraku…padahal agama adalah nasehat, sebagai sesama kaum muslimin harus saling menasehati. Lantas bagaimana kalau sikap mereka menolak dari nasehat orang yang tidak sesuai dengan pendapat mereka (meskipun nasehat yang haq).

Agama Islam dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian para shahabatnya meneruskannya, kemudian lagi para tabiin terus sampai jaman kita sekarang ini, kita harus mengikuti mereka. Dalam beragama itu harus mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah yang shohih sesuai dengan pemahaman para shahabat Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Kita harus memahami agama ini sesuai dengan pemahaman para shahabat karena merekalah orang-orang yang paling tahu tentang sunnah Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang pilihan yang dididik secara langsung oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau ada yang keliru diantara mereka langsung ditegur atau dibetulkan/diluruskan oleh Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi pada jaman shahabatlah agama ini sangat terjaga kemurniannya. Untuk itu kita wajib menjalankan agama ini sesuai petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan sesuai dengan apa yang dipahami oleh para shahabat Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah sesungguhnya Hakekat dari Ittiba (mengikuti).

Berikut ini akan kami sampaikan pendapat dari Empat Imam tentang masalah Taklid dan Ittiba :

1. Imam Asy Syafii

- "Tidak ada seorang pun kecuali dia harus bermadzhab dengan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bertentangan dengan ucapanku, maka peganglah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah ucapanku."
- "Apa bila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka peganglah ucapan Beliau dan tinggalkanlah ucapanku."
- Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadits yang shohih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Oleh karena itu janganlah mengikuti aku."
- "Apabila hadits itu shohih, maka itu adalah madzhabku."
- "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa telah terang baginya Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang."
- "Setiap masalah yang di dalamnya kabar dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah shohih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati."

2. Imam Ahmad bin Hambal

Beliau berkata :
- "Janganlah engkau mengikuti aku dan janganlah pula engkau ikuti Malik, Syafii, Auzai, Tsauri, tapi ambillah dari mana mereka mengambil."
- "Barang siapa menolak hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran."
- "Pendapat Auzai, pendapat Malik dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar"

3. Imam Malik bin Anas
Beliau berkata :
- "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan yang tidak maka tinggalkanlah."
- "Tidak ada seorangpun setelah Nabi r, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Muhammad r.

4. Imam Abu Hanifah
Beliau berkata :
- "Apabila hadits itu shohih maka hadits itu adalah madzhabku
- "Tidak dihalalkan bagi seorang untuk berpegang kepada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya"
- Dalam sebuah riwayat dikatakan,Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku."
- "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Alloh dan kabar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku."

Demikianlah wahai saudaraku kaum muslimin, pendapat dari empat imam tentang larangan taklid buta. Mereka memerintahkan kita untuk berpegang teguh dengan hadits Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, serta melarangnya untuk mengikuti mereka tanpa melakukan penelitian. Jadi mereka para Imam yang empat melarang keras kepada kita untuk taqlid buta / membebek / mengekor tanpa ilmu.

Barang siapa yang berpegang dengan setiap apa yang telah ditetapkan di dalam hadits yang shohih, walaupun bertentangan dengan perkataan para imam, sebenarnya tidaklah ia bertentangan dengan madzhabnya (para imam) dan tidak pula keluar dari jalan mereka, berdasarkan perkataan para imam di atas. Karena tidak ada satu ucapanpun yang dapat mengalahkan ucapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bahkan ucapan para shahabat pun !!! Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas :
"Aku khawatir akan datang hujan batu dari langit, aku ucapkan Rosululloh berkata .., engkau ucapkan Abu Bakar berkata, …dan Umar berkata…".

Inilah sikap yang seharusnya kita ambil, mencontoh para shahabat, imam-imam yang mendapat petunjuk, di mana merekalah yang telah mengamalkan dien/agama ini sesuai dengan petunjuk Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mengada-ada (tidak menambah/mengurangi). Dan hal inipun menunjukkan kesempurnaan ilmu yang ada pada mereka (para Imam) dan ketaqwaannya. Kadang kala mereka mengakui bahwasannya tidak semua hadits mereka ketahui.Terkadang mereka menutupkan suatu perkara dengan ijtihad mereka, namun hasil ijtihad mereka keliru karena bertentangan dengan hadits yang shohih. Hal ini dikarenakan belum sampainya hadits shohih yang menjelaskan tentang perkara itu kepada mereka. Jadi sangatlah wajar bagi seseorang yang belum paham suatu permasalahan kembali berubah sikap manakala ada yang menasehatinya dengan catatan sesuai dengan sunnah yang shohih dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. 


Wallahu A'lam

Baca Lebih Lanjut......


Rajab adalah salah satu dari nama bulan Islam yang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Rajab dalam bahasa Arab bermakna agung dan terhormat, bulan ini disebut dengan Rajab yang berarti agung dan terhormat karena kaum Jahiliyah dulu sangat mengagungkan dan menghormati bulan ini. Imam Ibnu Rajab Al Hanbali dalam Lathoif Al Ma’arif menyebutkan dari nukilan sebagian ulama ada 14 nama untuk bulan ketujuh ini dan sebagian lagi menyebut hingga 17 nama. Al Hafizh Ibnu Hajar menukil penjelasan dari Ibnu Dihyah bahwa bentuk jamak dari kata Rajab adalah Arjaab, Rajabaanaat, Arjabah, Araajib dan Rajaabii, lalu beliau (Ibnu Dihyah) menyatakan bahwa bulan ini memiliki 18 nama kemudian beliau merinci satu demi satu nama tersebut (lihat Muqaddimah Tabyiin Al ‘Ajab)

Rajab Termasuk dari Bulan-Bulan Haram
Rajab merupakan salah satu diantara bulan yang memiliki kemuliaan selain Ramadhan karena dia termasuk diantara empat bulan yang haram. Kemuliaan dan keagungan ini telah diisyaratkan dalam Firman Allah Azza wa Jalla,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.(QS. At Taubah : 36)
Dalam sebuah hadits shohih yang diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Abu Bakrah Nufai’ bin Harits radhiyallohu anhu dari Nabi shallallohu alaihi wasallam, beliau menerangkan keempat bulan haram yang dimaksud dengan sabdanya:
« إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبٌ شَهْرُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ ...»
“Sesungguhnya zaman telah beredar sebagaimana yang ditentukan di waktu Dia menciptakan langit dan bumi,dalam setahun terdapat dua belas bulan diantaranya empat bulan haram; tiga bulan diantaranya berurutan, (keempat bulan haram itu adalah) Dzulqa’dah, Dzulhijjah Muharram dan Rajab bulan Mudhar yang berada diantara Jumada (Akhiroh) dan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mengapa dinamakan bulan-bulan haram ?
Para ulama berbeda pendapat mengapa keempat bulan tersebut dinamakan dengan bulan haram, ada dua pendapat yang terkenal :
Pendapat Pertama : Dinamakan bulan haram dikarenakan besarnya kehormatan dan keagungan bulan-bulan tersebut serta besarnya akibat dari dosa yang dilakukan padanya. Abdullah bin Abbas radhiyallohu ‘anhuma berkata, “Allah mengkhususkan empat bulan yang dijadikannya sebagai bulan-bulan haram, kehormatannya sangat agung, dosa-dosa pada bulan tersebut lebih besar (dari bulan-bulan lainnya) dan Dia menjadikan amal sholeh dan pahalanya (di bulan tersebut) juga lebih besar” (lihat: Latho’if Al Ma’arif oleh Ibnu Rajab) . Salah seorang mufassir dari kalangan tabi’in yang bernama Qatadah bin Diamah As Sadusi ketika menjelaskan makna firman Allah di surat At Taubah ayat 36, “...maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu...”, beliau berkata, “Amalan sholeh di bulan-bulan haram lebih besar pahalanya sebagaimana perbuatan menganiaya lebih besar dosanya di bulan-bulan haram walaupun secara umum di bulan mana saja perbuatan menganiya adalah dosa besar” (lihat Tafsir Al Baghawi)
Pendapat Kedua : Dinamakan bulan-bulan haram karena peperangan diharamkan pada bulan-bulan tersebut dan hal ini sudah dikenal sejak zaman Jahiliyah bahkan konon sejak zaman Nabi Ibrahim alaihis salam. Dalam Al Quran Allah subhanahu wa ta’ala telah menegaskan haramnya berperang di bulan-bulan haram, (artinya) :
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh...(QS. Al Baqarah : 217).
Akan tetapi para ulama berbeda pendapat apakah larangan berperang di bulan haram hukumnya tetap berlaku atau sudah mansukh? Jumhur ulama berpendapat hukumnya telah mansukh karena para sahabat sepeninggal Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam banyak mengadakan penaklukan di berbagai negeri dan berjihad lalu tidak dinukil bahwa mereka berhenti pada saat memasuki bulan haram, hal ini menunjukkan bahwa mereka ijma’ larangan tersebut telah mansukh. Sebagian ulama salaf diantaranya ‘Atho’ memandang hukumnya tetap berlaku dan tidak mansukh, sebagian ulama lain merinci hukumnya dan mengatakan larangan tersebut berlaku jika mengawali peperangan di bulan-bulan haram adapun jika awalnya terjadi di luar bulan haram lalu berlanjut hingga bulan-bulan haram maka hal tersebut tidak mengapa atau rincian lain bahwa larangan tersebut jika jihad yang ofensif (menyerang) adapun jika jihad dalam rangka mempertahankan diri maka boleh di bulan apa saja , wallohu a’lam (lihat : Tafsir al Qurthubi, Zaadul Masir, tafsir as Sa’di dll)

Adakah Keistimewaan dan Amalan Khusus yang Dianjurkan di Bulan Rajab?
Para ulama kita menjelaskan bahwa keempat bulan haram tersebut memiliki keistimewaan dan keutamaan jika dibandingkan bulan-bulan lainnya kecuali bulan Ramadhan. Namun mereka berbeda pendapat manakah diantara empat bulan haram tersebut yang lebih afdhal; sebagian ulama Syafi’iyyah mengatakan yang paling afdhal bulan Rajab akan tetapi pendapat ini dilemahkan oleh Imam Nawawi, Tabi’in yang mulia Hasan al Bashri mengatakan bulan Muharram dan ini yang ditarjihkan oleh imam Nawawi dan pendapat ketiga mengatakan bulan Dzulhijjah, pendapat terakhir ini diriwayatkan dari Said bin Jubair dan ini yang cenderung dipilih oleh Ibnu Rajab al Hanbali rahimahumullohu jami’an.
Kemudian telah kita sebutkan sebelumnya beberapa perkataan ulama yang menjelaskan keutamaan beramal sholeh di bulan-bulan haram, dengan demikian semua jenis ibadah dan amalan sholeh yang disyariatkan sepanjang tahun dianjurkan untuk diperbanyak pada bulan-bulan haram termasuk diantaranya bulan Rajab. Akan tetapi adakah amalan sholeh yang khusus dianjurkan di bulan Rajab?

Amalan Khusus yang Banyak Dikerjakan di Bulan Rajab dan Hukumnya
Jika kita melihat realita ummat kita maka kita dapati ada beberapa amalan yang dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin secara khusus di bulan ini. Sebagian dari amalan tersebut memiliki dasar yang butuh penjelasan akan hakikatnya dan sebagian lagi tidak memiliki dasar sama sekali. Berikut ini beberapa contoh amalan yang banyak dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin di bulan Rajab beserta penjelasan singkat tentang hukumnya :
1. Umroh di bulan Rajab
Dalil yang digunakan untuk menganjurkan umroh adalah atsar dari Ibnu Umar radhiyallohu anhuma
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْتَمَرَ أَرْبَعًا إِحْدَاهُنَّ فِي رَجَبٍ
Dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melaksanakan umrah sebanyak empat kali. Salah satunya pada bulan Rajab. (HR. Tirmidzi dan dishohihkan oleh Albani).
Atas dasar itu maka Abdullah bin Umar radhiyallohu anhuma mengutamakan umroh di bulan Rajab. Salim bin Abdullah bin Umar mengatakan, “Adalah Abdullah bin Umar menyukai berumroh di bulan Rajab -yang merupakan bulan haram- dari bulan-bulan yang ada dalam setahun” (Atsar ini shohih diriwayatkan oleh Abu Muhammad Hasan Al Khallal dalam Fadhoil Syahr Rajab, no.9)
Namun pendapat ini telah dibantah oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallohu anha; sebagaimana diceritakan oleh tabi’in mulia Mujahid bin Jabr, beliau berkata, Aku dan Urwah bin Zubair masuk ke mesjid Nabawi ternyata ada Abdullah bin Umar yang duduk menghadap kamar Aisyah...kemudia aku bertanya kepada Ibnu Umar, “Berapa kali Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berumroh? Beliau menjawab, “Empat kali, salah satunya di bulan Rajab” Mujahid berkata, “Kami tidak suka membantah perkataan beliau, lalu kami mendengar suara siwak Aisyah Ummul Mukminin dari kamar beliau maka Urwah bertanya, “Wahai Ibu,wahai ummul mukminin, apa engkau tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Abu Abdirrahman(Ibnu Umar)? Beliau bertanya, “Apa yang beliau (Ibnu Umar) katakan?” Urwah menjawab, “Beliau (Ibnu Umar) berkata sesungguhnya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah berumroh empat kali dan salah satunya di bulan Rajab” Aisyah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman, beliau shallallohu alaihi wasallam tidak pernah berumrah kecuali dia menyaksikannya dan beliau tidak pernah umroh sekalipun di bulan Rajab” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pernyataan Aisyah radhiyallohu anhu ditarjihkan dan didukung oleh banyak ulama diantaranya Al Allamah Al Muhaqqiq Ibnu Qayyim Al Jauziyah di kitab beliau Zaadul Ma’ad (2/116), bahkan beliau menegaskan kekeliruan orang menyatakan hal itu,wallohu a’lam
2. Menyembelih di bulan Rajab
Mikhnaf bin Sulaim radhiyallohu anhu berkata, kami sedang berwukuf dengan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam di padang Arafah lalu beliau mengatakan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةً وَعَتِيرَةً أَتَدْرُونَ مَا الْعَتِيرَةُ هَذِهِ الَّتِي يَقُولُ النَّاسُ الرَّجَبِيَّةُ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya atas setiap keluarga dalam setiap tahunnya berudhiyyah dan ‘atirah, tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ‘Atirah? Ini yang orang menamakannya dengan Rajabiyyah” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud serta dihasankan oleh Albani)
‘Atirah atau Rajabiyyah adalah sembelihan yang dikenal di zaman Jahiliyah dimana mereka melakukannya di sepuluh hari pertama dari bulan Rajab dalam rangka taqarrub kepada Allah. Di zaman Jahiliyyah mereka persembahkan sembelihan tersebut kepada berhala-berhala mereka, kadang didahului dengan nadzar dan kadang tanpa ada nadzar sebelumnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ‘atirah dalam syariat Islam dan yang rojih insya Allah hukumnya telah mansukh (tidak berlaku lagi) dan ini adalah pendapat mayoritas para ulama sebagaimana yang dinukil oleh imam Nawawi dari al Qadhi ‘Iyadh rahimahumalloh, karenanya imam Abu Daud setelah meriwayatkan hadits di atas beliau menegaskan bahwa hadits ini mansukh hukumnya,wallohu a’lam
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa hal ini telah mansukh, sabda Rasulullah shallallohu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa beliau bersabda,
لَا فَرَعَ وَلَا عَتِيرَةَ قَالَ وَالْفَرَعُ أَوَّلُ نِتَاجٍ كَانَ يُنْتَجُ لَهُمْ كَانُوا يَذْبَحُونَهُ لِطَوَاغِيَتِهِمْ وَالْعَتِيرَةُ فِي رَجَبٍ
"Tidak ada Fara' dan Atirah. Fara' adalah anak pertama seekor unta yang mereka sembelih untuk sesembahan mereka, dan Atirah adalah hewan (kambing) yang mereka sembelih di bulan Rajab." (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Puasa sunnah
Tidak ada hadits shohih marfu’ yang mengkhususkan puasa sunnah di bulan Rajab, karenanya sebagian dari ulama Salaf diantaranya Ibnu Umar radhiyallohu anhuma, Hasan al Bashri dan Abu Ishaq as Sabi’i rahimahumallohu memperbanyak puasa sunnah di keseluruh bulan haram tanpa mengkhususkannya di bulan Rajab.
Beberapa sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam diantaranya Aisyah, Umar bin Khaththab, Abu Bakrah, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallohu anhum jami’an telah mengingkari orang yang berpuasa penuh di bulan Rajab atau mengkhususkan puasa di bulan Rajab.
Ibnu Sholah rahimahulloh berkata, “Tidak ada hadits shohih yang melarang atau menganjurkan secara khusus berpuasa di bulan Rajab maka hukumnya sama saja dengan bulan lainnya yaitu anjuran berpuasa secara umum”
Imam Nawawi rahimahulloh berkata, “Tidak ada larangan demikian pula anjuran secara khusus untuk berpuasa di bulan Rajab akan tetapi secara umum hukum asal puasa adalah dianjurkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata tentang hadits-hadits keutamaan berpuasa dan sholat khusus di bulan Rajab, “Seluruhnya dusta menurut kesepakatan para ulama”
Asy Syaikh Utsaimin rahimahulloh berkata, “Tidak ada keutamaan khusus yang dimiliki oleh bulan Rajab dibandingkan dengan bulan-bulan haram lainnya, tidak dikhususkan umroh, puasa, shalat, membaca al quran bahkan dia sama saja dengan bulan haram lainnya. Seluruh hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan shalat atau puasa padanya maka derajatnya lemah yang tidak boleh dibangun di atasnya hukum syar’i”
4. Sholat Raghaib
Sholat ini jumlah rakaatnya 12 dengan enam kali salam, biasanya dikerjakan setelah shalat Maghrib di Jumat pertama bulan Rajab. Bacaan dalam setiap rakaat setelah surat Al Fatihah adalah surat Al Qadar sebanyak 3 kali dan surat Al Ikhlash sebanyak 12 rakaat. Setelah shalat biasanya mereka bershalawat sebanyak 70 kali lalu mereka berdoa sesukanya. Sholat yang seperti ini tidak diragukan lagi termasuk shalat yang bid’ah karena hadits yang menyebutkannya termasuk hadits palsu sebagaimana yang diterangkan oleh imam Ibnul Jauzi dalam Al Maudhu’aat.
Imam Nawawi berkata, “Para ulama berhujjah dengan larangan mengkhususkan malam Jumat untuk shalat dan puasa sebagai dalil tidak dibencinya shalat bid’ah yang dinamakan dengan shalat raghaib, semoga Allah membinasakan orang yang membuatnya, karena shalat tersebut bid’ah mungkar yang sesat dan tanda kejahilan, di dalamnya terdapat kemungkaran yang jelas. Sekelompok dari para imam telah menyusun tulisan yang berharga dalam menjelaskan keburukannya dan sesatnya orang yang mengerjakan dan melakukan bid’ahnya. Dalil-dali tentang keburukan, kebatilan dan kesesatan pelakunya sangatlah banyak tidak terhingga” (Syarah shohih Muslim)
Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, Adapun ibadah sholat maka tidak ada dalil shohih yang mengkhususkannya, hadits-hadits yang diriwayatkan tentang keutamaan sholat Raghaib di awal Jumat bulan Rajab dusta dan batil serta tidak shohih. Sholat raghaib termasuk bid’ah menurut mayoritas para ulama...Bid’ah ini pertama kalinya muncul setelah tahun 400-an hijriyah oleh karena itu para ulama terdahulu tidak mengetahuinya dan tidak membicarakannya” (Lathoif al Ma’arif)
Termasuk bid’ah dalam persoalan shalat di bulan Rajab adalah sholat yang dikerjakan secara khusus di pertengahan bulan Rajab. (lihat al Muadhu’aat oleh Ibnul Jauzi)
5. Peringatan Isra’ dan Mi’raj
Tidak ada hadits-hadits yang shahih yang menentukan kapan sebenarnya terjadi malam Isra’ dan Mi’raj apakah dia di bulan Rajab atau selainnya. Dan setiap hadits yang menentukan waktu terjadinya malam tersebut adalah hadits lemah menurut para ulama hadits. Dan dilupakannya manusia akan waktu terjadinya merupakan hikmah besar yang dikehendaki oleh Allah Azza wa Jalla. Bahkan sekiranya ada dalil shahih yang menentukan kapan terjadinya Isra’ Mi’raj maka tidak boleh bagi kaum muslimin mengkhususkannya dengan ibadah-ibadah tertentu dan tidak boleh pula merayakannya karena Nabi shallallohu alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallohu anhum tidak pernah merayakannya dan tidak pula mengkhususkan malam tersebut dengan sesuatu kegiatan. Seandainya perayaan tersebut disyariatkan tentu Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah menjelaskannya kepada ummatnya, baik dengan perkataan ataupun dengan perbuatan dan seandainya hal itu pernah dilakukan tentu para sahabat akan menukilkan kepada kita karena mereka telah menukil dari Nabi mereka, segala sesuatu yang dibutuhkan oleh ummat ini dan mereka tidak pernah lalai menyampaikan sesuatu yang berhubungan dengan Ad Dien, bahkan mereka adalah orang-orang yang bersegera kepada setiap kebaikan, maka seandainya memperingati malam tersebut disyariatkan tentu mereka orang yang paling pertama melakukannya. Hudzaifah radhiyallohu anhu berkata : Setiap ibadah yang tidak dilakukan oleh para sahabat Rasulullah maka jangan kamu beribadah dengannya”. Said bin Jubair rahimahulloh juga telah mengatakan : “ Apa yang tidak dikenal oleh ahli Badar bukanlah bagian dari Ad Dien
Nabi shallallohu alaihi wasallam juga orang yang paling banyak bernasehat kepada manusia dan menyampaikan seluruh risalah ini serta telah menunaikan amanah. Maka seandainya mengagungkan dan merayakan malam tersebut merupakan bagian dari Ad Dien tentu Nabi shallallohu alaihi wasallam telah menyampaikannya dan tidak akan menyembunyikannya. Karenanya ketika hal itu tidak beliau sampaikan, maka diketahuilah bahwa merayakan dan mengagungkannya bukanlah bagian dari Islam sedikitpun, dan Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan bagi ummat ini dien mereka serta mencukupkan nikmat-Nya atas mereka dan Dia mengingkari siapa saja yang membuat syariat yang tidak diizinkan-Nya, sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surah Al Maidah:3
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam jadi agama bagimu”

Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah disebutkan di atas maka dapat kita simpulkan bahwa bulan Rajab adalah salah satu diantara bulan-bulan suci yang dihormati, seyogyanya bagi seorang muslim yang mengagungkan Rabbnya memuliakan bulan ini dengan memperbanyak amalan-amalan sholeh dan menghindarkan dirinya dari segala macam yang dilarang dalam syariat berupa maksiat dan lainnya. Tidak ada dalil shohih yang menganjurkan amalan khusus di bulan ini karena itu bagi yang ingin meraih kemuliaan bulan ini, hendaknya mencukupnya dirinya dengan amalan-amalan yang disyariatkan dan jangan melakukan hal-hal baru dalam peribadatan yang menjerumuskan dirinya dalam bid'ah yang justru akan menodai kehormatan bulan ini dan menjadikannya terjatuh dalam dosa besar, Wallohu A'lam wahuwa Waliyyut Taufiq

Baca Lebih Lanjut......

Islamic Clock

Tegur Sapa

Galeri